Jumat, 02 Mei 2014

Mengenang Kepergian AYAH

Awalnya seperti mimpi dan berharap ini hanya mimpi. Akhirnya aku sadar kalau ini memang kenyataan dan menyadarkan diri bahwa aku sudah kehilangan sosok ayah yang paling aku sayangi. Beliau sosok yang sangat aku banggakan sampai aku sendiri ingin mendidik anak - anakku seperti ayah mendidik aku. Beliau sangat gagah, pintar, matanya sipit, baik, bertanggung jawab, tegas mendidik kami, dan paling jago membaca al-quran. Salut dengan kepribadian ayah. Ayah itu paling gak suka kalau lagi ngumpul apalagi makan bersama, kami  kakak beradik berkelahi, beliau sangat marah dan jika ayah memanggil salah satu anakny, beliau paling suka kita sahut lalu langsung datang menghampiri nya. Dan aku sangat merindukan kasih sayang darinya. Ya,,,allah aku sangat rindu, aku hanya bisa memandang foto beliau.

Aku anak kedua dari 5 bersaudara. Anak pertama perempuan (kakak), dan anak nomor 3,4,dan itu  semuanya laki -laki. Sungguh ini tidak pernah terlintas di benakku. Aku yang masih duduk di bangku 1 SMA harus merasakan sakit yang teramat dalam setelah kepergian ayah. Aku anak yang akrab dengan ayah, beliau selalu mengutamakn aku dari pada yang lainnya. Sakin dekatnya dengan ayah, ayah pun kembali menghadap sang pencipta di pangguanku, ini sangat membuat aku susah untuk membesarkan hati atas kepergian ayah.

Tepatnya sore pukul 04.00 wib ayah mengajak kami berlibur sekeluarga. sekalian beliau ada niat ingin membeli tanah di daerah pekan baru. Paginya ayah masih terlihat sehat, beliau tertawa riang bersama teman - teman kerjanya, memberi gaji anggota. Beliau terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Pasti dia sudah lelah dan tidak memikirkan kalau beliau punya penyakit jantung. Diagnosa ini belum jelas. Sebelumnya ayah pernah pingsan tanpa sebab. Lalu ibuku membawa ayah untuk memeriksakan diri ke dokter. Kata dokter sakit jantung. Tapi saya tidak yakin dengan diagnosa itu.

Detik - detik terakhir kepergiannya, beliau yang tidak biasanya tidur di kamarku, dia masuk ke kamar dan tidur - tiduran dengan santai. Beliau berkata " waahh, kamar anak ayah enak sekali, ada kipasnya,rapi. Kamar ayah saja gak pakek apa-apa". Dan aku tidak menghiraukan, karena tidak terlintas sama sekali kalau itu hari terakhir ayah di kamarku. Setelah itu dia menyuruh kami bersiap - siap, packing barang yang mau di bawa. Semua sudah di susun dengan rapi. Akhirnya kami pergi menggunakan sepeda motor, aku dan adik nomor 5 (rian) bersama ayah, sedangkan kakak dan adikku nomor 4 (reza) bersama ibuku. Dan adikku yang nomor 3 (akmal) membawa sepeda motornya sendiri.

Sepanjang perjalanan, ayah cerita dan paling aku ingat, aku di suruh peduli kepada orang sekitarku, seolah - seolah ayah tau dia akan pergi, tapi tidak mau memberitahu aku. Tiba - tiba kakinya ayah terpecik lumpur, karena jalanan becek. Lalu ayah berhenti dan mencuci kakinya, sepertinya dia sudah tahu akan meninggalkan dunia ini.makanya beliau o tidak mau terlihat kotor saat mendekati azalnya. Dan saya tidak sadar kalau ini adalah hari terakhir di bonceng sama ayah.
Kemudian ayah bilang, " nak, pandangan ayah gelap, gak tau kenapa" terus saya bilang berhenti aja dulu yah, dan ayah pun menurut. Kami berhenti di pinggiran jalan. Ayah meminta di kusuk bagian lehernya, dan aku menuruti kemauannya. Tapi ayah mengajak dan melanjutkan perjalanan.akupun naik dan melanjutkan perjalanan bersama ayah.

"Nak, kok masih gelap ya, ayah pun memperjelas lagi, kusuk lagi nak leher ayah. Sambil membawa sepeda motor aku menggusuk leher dan punggung ayah. Hampir sebentar lagi kami mau sampai, ayah sudah tampak lemah saat mendaki jalan tanjakan. Di ujung titi tanjung balai ayah berhenti. Dan menurunkan adik aku yang masih berumur 4 tahun itu. Lalu aku turun dan duduk di batu pinggiran jalan. Ayah pun mencagakkan sepeda motornya dan duduk di tengah antara aku dan adikku. Ayah tampak pucat, menatap ke arah aku seperti pandangan kosong dan aku khawatir sekali. Jangan sampai ayahku sakit,karena ayah tidak pernah menunjukkan dia lemah di depan anak - anaknya.

Entah kenapa,
ayah menunduk dan menopangkan tangganya di paha ku, aku heran, "kenapa ayah semakin menunduk, apakah capek di perjalanan. Tapi mana mungkin" pikirku dalam hati
ayah sosok orang yang hampir selalu melewati jalan ini kalau mau berangkat kerja.
Kemudian Aku berfikir ayah sepertinya lelah dan ngantuk. Pikirku dalam hati, karena wajar saja ayah lelah karena hampir seharian ayah di ruang kerjanya bersama teman - temannya.
Tapi akhirnya ayah berbeda, dia bukan tertidur malah beliau menunduk sampai dahinya terkena batu jalan.
Aku kaget, dan aku terus membangunkan ayah
"Ayah,,ayah,,ayah kenapa. Sambil menopang kepala ayah. Tapi ayah gak menjawab, saat ku lihat wajahnya ayah meneteskan air mata di wajahnya. Sepertinya beliau tak kuat menahan sakit saat nyawanya di ambil oleh sang penciptanya. Aku langsung teriak dan meminta tolong kepada orang - orang sekitar.
" pak tolong, ayah saya sakit dan gak bangun - bangun"
Akhirnya mereka menolong aku dan segera membawa ayah ke rumah sakit.
Perawat yang di tugas depan IGD tidak tanggap menyambut ayah, orang - orang yang menolong ayah, meminta tolong
Dokter, tolong ini ada pasien sekarat teriak bapak sebelahku, dengan santai perawat itu menjawab " sabar pak, abis rokok sebatang dulu" jawabnya
Aku marah, tapi aku gak bisa berbuat apa - apa, karena aku masih kecil dan kurang mengetahui tentang peraturan rumah sakit. Karena terlambatnya ayah di tolong lalu dokter itu mengatakan. Ayah sudah tiada.
Aku tersandar dan lemah terduduk di lantai. Melihat wajah, tangan dan kaki  ayah di ikat dengan kain putih (kassa).
Ya allah bangunkan aku bahwa ini mimpi, aku gak sanggup kehilangan ayah. Sedangkan ibuku belum sampai juga, ibuku masih di belakang karena aku dan ayah yang berangkat duluan.

Aku lupa menberi kabar ke ibuku, dan aku tidak diberi izin menyampaikan ke ibu kalau ayah sudah meninggal. Akhirnya aku berbohong
" hallo mak, ayah sakit sambil terisak
" apa, ayah sakit, di mana sekarang,? Tanya ibuku
" di rumah sakit umum,
Ibuku langsung mematikan handponenya, tak berapa lama kemudian ibuku sampai. Tanpa sempat mencagakkan sepeda motornya, ibu berlari dan heran melihat keramaian orang.
Teriakku, mamak, sambil berlari memeluk ibuku, ayahh,, ucapku
" mana ayahmu"
Ibuku pingsan, melihat itu, dia tidak menyangka kalau ayah sudah pergi.
Lalu ibu bangkit kembali, dan menyambar ayah. Sambil menyuruh ayah bangun.
Aku tak kuasa menahan tangis, aku lemah dan aku tidak bisa menjelaskan bagaimana terakhir kepergian ayah. Aku menatap adikku yang paling kecil yang masih bingung sedari tadi dengan kejadian ini dan bermain dengan sifat anak - anaknya.

Akhirnya ayah di bawa pulang ke rumah. Teramat sakit rasanya sampai aku merasa seperti kehabisan air mata dengan kepergian ayah.  karena sudah sore, ayah tidak mungkin di makamkan lagi, harus di tunda sampai besok.
Lagi - lagi aku melihat tubuh ayah yang dingin dan semakin kaku. Aku memegang jari - jari kaki ayah dan semalam tidur di samping ayah. Aku tertidur dan merasa lelah, dan terus berdoa ini hanya mimpi.
Aku memeluknya lagi sembari membacakan ayat suci al - quran.
Air mata tak henti - hentinya mengalir.

Beruntunglah  teman- teman semua yang  masih memiliki keluarga yang utuh, sayangilah mereka, karena sungguh sakit kehilangan orang terdekat dan membesarkan kita dari kecil.
Kepergian ayah menjadikan aku lebih dewasa. Dan berjuang keras meraih cita - citaku.
Mengenang 4 tahun kepergian ayah, "Alm. Samiun Sitorus"semoga ayah di beri kelapangan di alam kuburnya, di ampuni dosanya, dan di tempatkan di tempat yang sebaik - baiknya. Aminn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar